Tradisi Penggal Kepala - Merupakan tradisi
Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di
Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Suku Iban dan Suku Kenyah
adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau. Pada tradisi
Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia
dari pihak musuh. Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama
ini adalah yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau). Karya Bock,
The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1881
banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang
pemburu kepala”.
Bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tradisi mengayau untuk
kepentingan upacara Tiwah, yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak
Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal
dunia menuju langit ke tujuh (Riwut, 2003 : 203).
Menurut Lebar (1972 : 171), dikalangan masyarakat Kenyah, perburuan
kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat, yaitu pesta pemotongan
kepala, yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai upacara inisiasi
untuk memasuki sistem status bertingkat, Suhan, untuk para prajurit
perang.
Pemburu-pemburu kepala yang berhasil berhak memakai gigi macan kumbang
di telinganya, hiasan kepala dari bulu burung enggang, dan sebuah tato
dengan desain khusus..Serangan-serangan para pemburu kepala dilakukan
oleh kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh
orang laki-laki yang bergerak secara diam-diam dan tiba-tiba. Mereka
sangat memperhatikan pertanda-pertanda, khususnya burung-burung. Setelah
digunakan dalam upacara-upacara Mamad, kepala-kepala itu digantung di
beranda rumah panjang, berhadapan dengan ruang-ruang tengah yang menjadi
tempat tinggal ketua rumah panjang.
Di masa lalu Suku Dayak Kenyah dilaporkan sebagai pemburu kepala yang
paling terkenal di Kalimantan. Seperti halnya suku Dayak Kenyah, suku
Dayak Iban juga melakukan upacara perburuan kepala yang disebut Gawai.
Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga melibatkan pesta
besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang (Lebar, 1972 :
184).
Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya
(1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan
dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak
diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala
manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia.
Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan
seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi
ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan
hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau
ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan
diperlukan sebuah tengkorak yang baru.
Sementara itu Mc Kinley menggambarkan ritual perburuan kepala itu
sebagai sebuah proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya
adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia
keseharian.
Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa
harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Mc
Kinley berpendapat (1976 : 124), kepala dipilih sebagai simbol yang pas
untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang
dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal,
merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social
personhood). Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling
manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus
diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.
Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau. Seperti
halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka
tidak ada istilah Ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat
mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak
Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuh yang
dijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinannya berhasil
mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk lutut. Kepala
pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap ritual-ritual adat
sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban dan Ngaju, kepala
tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus
dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun
mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting
yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan
memiliki simbol status seseorang.
Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas Dayak
adalah semasa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung yaitu ketika
pada tahun 1874 Damang Batu (Kepala Suku Dayak Kahayan) mengumpulkan
sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai Tumbang Anoi.
Musyawarah tersebut dikenal dengan Perjanjian Tumbang Anoi. Dalam
musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat
Dayak di seluruh Kalimantan mencapai kesepakatan untuk menghindari dan
menghilangkan tradisi mengayau. Karena dianggap telah menimbulkan
perselisihan di antara suku Dayak. Akhirnya, dalam musyawarah tersebut
segala perselisihan dikubur dan pelakunya didenda sesuai dengan hukum
adat Dayak.
Meskipun hingga kini tidak ada satupun analisis yang dapat menjelaskan
secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi dari tradisi Ngayau
tersebut karena ritual ini sedemikian kompleks dan sedemikian
misteriusnya, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tradisi Ngayau
sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang merupakan
salah satu simbol suatu identitas kesukuan. Pemotongan kepala/ngayau
kembali muncul ketika terjadi kerusuhan antar-etnis melanda Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu.
*Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Ngayau
*Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Ngayau
Licence By: http://linxets.blogspot.com/2012/12/ngayau-sebuah-tradisi-penggal-kepala-suku-dayak.html#ixzz2K49M0chr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar