AlQuran
banyak sekali mengungkapkan sesuatu yang terkadang berada di luar
jangkauan manusia. Namun setelah sekian lama, akhirnya manusia baru bisa
mengungkapkan kebenaran ayat-ayat Allah yang termaktub dalam AlQuran
tersebut. Salah satunya tentang keberadaan laut dua warna.
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang
keduanya kemudian bertemu, anatara keduanya ada batas yang tidak
dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Allah manakah yang kamu dustakan. Dari keduanya
keluar mutiara dan marjan.” (QS
Ar-Rahman[55]: 19-22)
“Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir
(berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit;
dan Dia jadikan antara keduanya didnding dan batas yang menghalangi.” (QS Al-Furqan[25]: 53)
– Laut dua warna yang terdapat di selat
Gibraltar berwarna biru tua dan biru langit.
Setelah lebih dari 14 abad, baru
beberapa dasawarsa ini para ilmuwan berhasil mengungkapkannya. Disebutkan para peneliti harus menunggu hingga beberapa tahun
untuk mencari dan menemukan laut dua warna ini. Para peneliti yang
dilibatkan mencapai ratusan orang dan tempat untuk mencarinya.
Setelah berhasil menemukan laut dua warna
tersebut, beberapa peneliti akhirnya menyatakan kekagumannya akan
kebenaran AlQuran dan kemudian memilih Islam sebagai jalan hidupnya.
Dari ratusan tempat yang diteliti, ternyata laut
dua warna yang disebutkan AlQuran, berada di selat Gibraltar yang
menghubungkan antara Lautan Mediterania dan Samudera Atlantik serta
memisahkan Spanyol dan Maroko. Nama Gibraltar berasal dari bahasa arab Jabal Thariq yang berarti gunung Tariq. Nama itu merujuk
pada jendral muslim Tariq bin Ziyad yang menaklukkan Spanyol pada tahun
711.
Dalam pelatihan ESQ (Emotional
and Spiritual Quetiont), Ari Ginandjar selaku Pembina dan
instruktur pelatihan, sering memperlihatkan gambaran laut dua warna
tersebut. Di Selat Gibraltar itu terdapat pertumuan dua jenis laut yang
berbeda warna. Seperti ada garis pembatas yang memisahkan keduanya. Satu
bagian berwarna biru agak gelap dan pada bagian lain tampak lebih
terang.
Menurut penjelasan para ahli kelautan seperti William W. Hay, guru
besar ilmu bumi di University of Colorado, Boulder – Amerika Serikat,
dan mantab dekan sekolah kelautan Rosentiel dan Sains Atmosfer di
University Miami, Florida – Amerika Serikat, serta Professor Dorja Rao,
seorang spesialis di Geologi Kelautan dan dosen di Universitas King
Abdul-Aziz, Jeddah, air laut yang terletak di selat Gibraltas tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari kadar garamnya, maupun
suhu kerapatan air laut. Dan seperti dijelaskan dalam surah
Al-Furqan[25] ayat 53, yang satu bagian rasanya tawar dan segar,
sedangkan bagian lainnya rasanya asin lagi pahit. Dan antara keduanya,
tak pernah saling bercampur (bersatu satu sama lain), seolah ada dinding
tipis yang memisahkannya.
Pembatas
Para ahli kelautan menemukan
adanya batas pada setiap lautan. Pemisah itu bergerak diantara dua
lautan dan dinamakan dengan front (jabhah)
dianalogikan dengan front yang memisahkan antara dua
pasukan. Dengan adanya pemisah ini setiap lautan memelihara
karakteristiknya sehingga sesuai dengan keberadaan makhluk hidup
(ekosistem) yang tinggal di lingkungan itu.
Seperti dikutip oleh www.ikadi.org, banyak tahapan yang
telah dilalui ilmu pengetahuan manusia untuk mengetahui sifat-sifat air
laut, diantaranya tentang batas-batas laut. Pada tahun 1873 M / 1283 H,
para ilmuwan dari tim peneliti Inggris dalam ekspedisi laut Challenger
menemukan adanya perbedaan diantara sampel-sampel air laut yang diambil
dari berbagai lautan. Dari situ manusia mengetahui bahwa air laut
berbeda-beda kondisinya satu dengan yang lain, baik dalam hal kadar
garam, temperatur, berat jenis, dan jenis biota lautnya.
Penemuan hal ini dihasilkan setelah menyelesaikan
pelayaran ilmiah selama tiga tahun, mengarungi seluruh lautan di bumi.
Ekspedisi ini mengumpulkan informasi-informasi dari 362 pos yang
diperuntukkan untuk menyelidiki karakteristik lautan di seluruh dunia.
Laporan perjalanan tersebut memenuhi 29 ribnu halaman dalam 50 jilid,
yang penyusunannya memakan waktu 23 tahun. Ekspedisi tersebut merupakan
salah satu penemuan ilmiah yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan,
khususnya tentang oceanologi (ilmu kelautan).
- Pencitraan Selat Gibraltar dengan
satelit, foto kanan menggunakan pencitraan khusus untuk mengukur suhu
air.
Tahun 1933 diadakan ekspedisi
ilmiah oleh tim Amerika di teluk Meksiko. Mereka menyebar ratusan pos di
laut untuk mempelajari karakteristik lautan. Hasilnya, sebagian besar
pos-pos tersebut memberikan informasi yang seragam tentang karakteristik
air di wilayah itu, sementara pos-pos lainnya memberikan informasi yang
berbeda. Dengan demikian, para ahli kelautan ini berkesimpulan adanya
dua laut yang berbeda sifatnya, dan tidak sekadar perbedaan sampel
seperti yang ditemukan pada ekspedisi challenger.
Melalui ratusan ‘stasiun laut’ yang dibuat. Para ilmuwan menyimpulkan
bahwa perbedaan karakter tersebut mendeterminasi satu lautan dengan
lainnya, namun mereka masih mempertanyakan mengapa laut di selat
Gibraltar tidak bisa bercampur?
Pertama kali
muncul jawaban itu di lembaran buku-buku ilmiah pada tahun 1942 M / 1361
H. studi yang mendalam tentang karakteristik lautan menyingkap adanya
lapisan-lapisan air pembatas yang memisahkan antara lautan yang berbeda,
dan berfungsi memelihara karakteristik khas setiap lautan dalam hal
kadar berat jenis, kadar garam, biota laut, suhu, dan kemampuan
melarutkan oksigen.
Setelah
tahun 1962 diketahui fungsi batas-batas laut tersebut dalam ‘mengolah’
aliran air laut yang menyebrang dari satu laut ke laut yang lain,
sehingga laut yang satu tidak melampaui laut yang lain. Dengan begitu
lautan-lautan tersebut tidak bercampur aduk karena setiap lautan menjaga
karakteristik dan batas-batas wilayahnya masing-masing karena adanya
pembatas-pembatas tersebut.
Menurut William Hay, air
Laut Tengah Mediterania terasa hangat dan berkadar garam tinggi,
sedangkan air di Samudera Atlantik lebih dingin dan memiliki kadar garam
lebih rendah. Dan, batasan antara kedua air laut ini juga berbeda
dengan air di Teluk Oman dan air di Teluk Persia, baik dari segi kimiawi
maupun ekosistem yang ada diantara keduanya.
Muhammad
Ibrahim As Sumaih, guru besar pada fakultas sains, jurusan ilmu kelautan
Universitas Qatar, dalam penelitian yang dilakukan di Teluk Oman dan
Persia (1984-1988) menemukan perbedaan terperinci dengan angka-angka dan
gambar-gambar pada kedua teluk tersebut. Sifat lautan yang saling bertemu akan tetapi tidak bercampur
satu sama lain ini telah ditemukan oleh para ahli kelautan baru-baru
ini. Karena gaya fisika yang dinamakan ‘tegangan permukaan’ air dari
laut-laut yang saling bersebelahan tidak menyatu, akibat adanya
perbedaan masa jenis, tegangan permukaan mencegah lautan bercampur satu
sama lain, seolah terdapat dinding tipis yang memisahkan mereka. (Davis,
Richard A. Jr, 1972, Principles of Oceanography, Don
Mills, Ontario, Addison-Wesley Publishing, 92-93.)
Beda
Penafsiran
Belum
puas dengan hasil yang ada, para peneliti kemudian meneliti lagi
tentang pertemuan laut dua warna tersebut, sebagaimana diisyaratkan
dalam surah Ar-Rahman, akan adanya pembatas diantara keduanya. Hingga kemudian menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan
ilmuwan dalam menafsirkannya.
Satu pendapat
menyatakan, keduanya tidak mungkin bertemu karena ada batasan. Sementara
pendapat kedua menegaskan, air itu bisa bertemu secara bersama-sama,
namun tidak merubah sifat, kadar garam, maupun ekosistemnya. Rasa
penasaran itu akhirnya makin memaksa para ilmuwan untuk mengkaji secara
lebih cermat dan teliti mengenai keduanya.
Akhirnya mereka berkesimpulan, keduanya bisa bertemu walaupun ada
pembatasnya. Akan tetapi ketika air dari salah satu lautan masuk kedalam
lautan yang lain, air tersebut akan kehilangan sifat-sifat pembedanya
dan menjadi homogen dengan air lainnya. Pembatas ini berfungsi sebagai
daerah pemberi sifat serbasama secara transisi terhadap kedua air. “ini
adalah contoh yang baik terhadap penelitian sains modern secara islami.
Teknik modern bisa digunakan untuk membuktikan kemustahilan untuk
ditirunya AlQuran”, kata Syekh Az-Zindani dari Universitas King Abdul
Aziz, Jeddah.
Bahkan Professor Shroeder,
ahli kelautan dari Jerman mengungkapkan kekagumannya akan kebenaran
AlQuran yang telah diturunkan 14 abad yang lalu telah berbicara
mengenai hal tersebut.
Wa
Allahu A’lam
sumber: http://hermadut.blogspot.com/2012/07/maraj-al-bahrayn-laut-dua-warna.html