Kamis, 31 Januari 2013

Laut Dua Warna

  AlQuran banyak sekali mengungkapkan sesuatu yang terkadang berada di luar jangkauan manusia. Namun setelah sekian lama, akhirnya manusia baru bisa mengungkapkan kebenaran ayat-ayat Allah yang termaktub dalam AlQuran tersebut. Salah satunya tentang keberadaan laut dua warna.
            Dalam surah Ar-Rahman[55] ayat19-22, Allah berfirman:
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, anatara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Allah manakah yang kamu dustakan. Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” (QS Ar-Rahman[55]: 19-22)
“Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya didnding dan batas yang menghalangi.” (QS Al-Furqan[25]: 53)

– Laut dua warna yang terdapat di selat Gibraltar berwarna biru tua dan biru langit.

Setelah lebih dari 14 abad, baru beberapa dasawarsa ini para ilmuwan berhasil mengungkapkannya. Disebutkan para peneliti harus menunggu hingga beberapa tahun untuk mencari dan menemukan laut dua warna ini. Para peneliti yang dilibatkan mencapai ratusan orang dan tempat untuk mencarinya.
            Setelah berhasil menemukan laut dua warna tersebut, beberapa peneliti akhirnya menyatakan kekagumannya akan kebenaran AlQuran dan kemudian memilih Islam sebagai jalan hidupnya.
            Dari ratusan tempat yang diteliti, ternyata laut dua warna yang disebutkan AlQuran, berada di selat Gibraltar yang menghubungkan antara Lautan Mediterania dan Samudera Atlantik serta memisahkan Spanyol dan Maroko. Nama Gibraltar berasal dari bahasa arab Jabal Thariq yang berarti gunung Tariq. Nama itu merujuk pada jendral muslim Tariq bin Ziyad yang menaklukkan Spanyol pada tahun 711.
            Dalam pelatihan ESQ (Emotional and Spiritual Quetiont), Ari Ginandjar selaku Pembina dan instruktur pelatihan, sering memperlihatkan gambaran laut dua warna tersebut. Di Selat Gibraltar itu terdapat pertumuan dua jenis laut yang berbeda warna. Seperti ada garis pembatas yang memisahkan keduanya. Satu bagian berwarna biru agak gelap dan pada bagian lain tampak lebih terang.
            Menurut penjelasan para ahli kelautan seperti William W. Hay, guru besar ilmu bumi di University of Colorado, Boulder – Amerika Serikat, dan mantab dekan sekolah kelautan Rosentiel dan Sains Atmosfer di University Miami, Florida – Amerika Serikat, serta Professor Dorja Rao, seorang spesialis di Geologi Kelautan dan dosen di Universitas King Abdul-Aziz, Jeddah, air laut yang terletak di selat Gibraltas tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari kadar garamnya, maupun suhu kerapatan air laut. Dan seperti dijelaskan dalam surah Al-Furqan[25] ayat 53, yang satu bagian rasanya tawar dan segar, sedangkan bagian lainnya rasanya asin lagi pahit. Dan antara keduanya, tak pernah saling bercampur (bersatu satu sama lain), seolah ada dinding tipis yang memisahkannya.

Pembatas
            Para ahli kelautan menemukan adanya batas pada setiap lautan. Pemisah itu bergerak diantara dua lautan dan dinamakan dengan front (jabhah) dianalogikan dengan front yang memisahkan antara dua pasukan. Dengan adanya pemisah ini setiap lautan memelihara karakteristiknya sehingga sesuai dengan keberadaan makhluk hidup (ekosistem) yang tinggal di lingkungan itu.
            Seperti dikutip oleh www.ikadi.org, banyak tahapan yang telah dilalui ilmu pengetahuan manusia untuk mengetahui sifat-sifat air laut, diantaranya tentang batas-batas laut. Pada tahun 1873 M / 1283 H, para ilmuwan dari tim peneliti Inggris dalam ekspedisi laut Challenger menemukan adanya perbedaan diantara sampel-sampel air laut yang diambil dari berbagai lautan. Dari situ manusia mengetahui bahwa air laut berbeda-beda kondisinya satu dengan yang lain, baik dalam hal kadar garam, temperatur, berat jenis, dan jenis biota lautnya.
            Penemuan hal ini dihasilkan setelah menyelesaikan pelayaran ilmiah selama tiga tahun, mengarungi seluruh lautan di bumi. Ekspedisi ini mengumpulkan informasi-informasi dari 362 pos yang diperuntukkan untuk menyelidiki karakteristik lautan di seluruh dunia. Laporan perjalanan tersebut memenuhi 29 ribnu halaman dalam 50 jilid, yang penyusunannya memakan waktu 23 tahun. Ekspedisi tersebut merupakan salah satu penemuan ilmiah yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan, khususnya tentang oceanologi (ilmu kelautan).

- Pencitraan Selat Gibraltar dengan satelit, foto kanan menggunakan pencitraan khusus untuk mengukur suhu air.

Tahun 1933 diadakan ekspedisi ilmiah oleh tim Amerika di teluk Meksiko. Mereka menyebar ratusan pos di laut untuk mempelajari karakteristik lautan. Hasilnya, sebagian besar pos-pos tersebut memberikan informasi yang seragam tentang karakteristik air di wilayah itu, sementara pos-pos lainnya memberikan informasi yang berbeda. Dengan demikian, para ahli kelautan ini berkesimpulan adanya dua laut yang berbeda sifatnya, dan tidak sekadar perbedaan sampel seperti yang ditemukan pada ekspedisi challenger.
            Melalui ratusan ‘stasiun laut’ yang dibuat. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa perbedaan karakter tersebut mendeterminasi satu lautan dengan lainnya, namun mereka masih mempertanyakan mengapa laut di selat Gibraltar tidak bisa bercampur?
            Pertama kali muncul jawaban itu di lembaran buku-buku ilmiah pada tahun 1942 M / 1361 H. studi yang mendalam tentang karakteristik lautan menyingkap adanya lapisan-lapisan air pembatas yang memisahkan antara lautan yang berbeda, dan berfungsi memelihara karakteristik khas setiap lautan dalam hal kadar berat jenis, kadar garam, biota laut, suhu, dan kemampuan melarutkan oksigen.
            Setelah tahun 1962 diketahui fungsi batas-batas laut tersebut dalam ‘mengolah’ aliran air laut yang menyebrang dari satu laut ke laut yang lain, sehingga laut yang satu tidak melampaui laut yang lain. Dengan begitu lautan-lautan tersebut tidak bercampur aduk karena setiap lautan menjaga karakteristik dan batas-batas wilayahnya masing-masing karena adanya pembatas-pembatas tersebut.  
            Menurut William Hay, air Laut Tengah Mediterania terasa hangat dan berkadar garam tinggi, sedangkan air di Samudera Atlantik lebih dingin dan memiliki kadar garam lebih rendah. Dan, batasan antara kedua air laut ini juga berbeda dengan air di Teluk Oman dan air di Teluk Persia, baik dari segi kimiawi maupun ekosistem yang ada diantara keduanya.
            Muhammad Ibrahim As Sumaih, guru besar pada fakultas sains, jurusan ilmu kelautan Universitas Qatar, dalam penelitian yang dilakukan di Teluk Oman dan Persia (1984-1988) menemukan perbedaan terperinci dengan angka-angka dan gambar-gambar pada kedua teluk tersebut. Sifat lautan yang saling bertemu akan tetapi tidak bercampur satu sama lain ini telah ditemukan oleh para ahli kelautan baru-baru ini. Karena gaya fisika yang dinamakan ‘tegangan permukaan’ air dari laut-laut yang saling bersebelahan tidak menyatu, akibat adanya perbedaan masa jenis, tegangan permukaan mencegah lautan bercampur satu sama lain, seolah terdapat dinding tipis yang memisahkan mereka. (Davis, Richard A. Jr, 1972, Principles of Oceanography, Don Mills, Ontario, Addison-Wesley Publishing, 92-93.)

Beda Penafsiran
            Belum puas dengan hasil yang ada, para peneliti kemudian meneliti lagi tentang pertemuan laut dua warna tersebut, sebagaimana diisyaratkan dalam surah Ar-Rahman, akan adanya pembatas diantara keduanya. Hingga kemudian menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan dalam menafsirkannya.
            Satu pendapat menyatakan, keduanya tidak mungkin bertemu karena ada batasan. Sementara pendapat kedua menegaskan, air itu bisa bertemu secara bersama-sama, namun tidak merubah sifat, kadar garam, maupun ekosistemnya. Rasa penasaran itu akhirnya makin memaksa para ilmuwan untuk mengkaji secara lebih cermat dan teliti mengenai keduanya.
            Akhirnya mereka berkesimpulan, keduanya bisa bertemu walaupun ada pembatasnya. Akan tetapi ketika air dari salah satu lautan masuk kedalam lautan yang lain, air tersebut akan kehilangan sifat-sifat pembedanya dan menjadi homogen dengan air lainnya. Pembatas ini berfungsi sebagai daerah pemberi sifat serbasama secara transisi terhadap kedua air. “ini adalah contoh yang baik terhadap penelitian sains modern secara islami. Teknik modern bisa digunakan untuk membuktikan kemustahilan untuk ditirunya AlQuran”, kata Syekh Az-Zindani dari Universitas King Abdul Aziz, Jeddah.
            Bahkan Professor Shroeder, ahli kelautan dari Jerman mengungkapkan kekagumannya akan kebenaran AlQuran yang telah  diturunkan 14 abad yang lalu telah berbicara mengenai hal tersebut.

Wa Allahu A’lam
 
sumber:  http://hermadut.blogspot.com/2012/07/maraj-al-bahrayn-laut-dua-warna.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar